Perayaan Ulang Tahun Berganti \'Perang\' Warga
//Menyusuri Konflik Abadi di Tanah Mesuji
Konflik Abadi
Bentrokan di Mekar Jaya bulan lalu itu hanya sebagai bagian kecil dari konflik abadi di Register 45 Mesuji. Siapa yang harus bertanggung jawab? Pertanyaan itu berpuluh-puluh tahun sudah ditanyakan banyak orang. Belum terjawab hingga sekarang. “Setiap hari pasti ada saja keributan di sini (Register 45),” kata Nengah Sugandra, 49, warga dari kelompok Moro-Moro Register 45. Register 45 dihuni kelompok pendatang dari berbagai suku dan kelompok adat. Mereka menempati kawasan hutan negara yang konon berstatus hak penguasaan hutan tanaman industri (HPHTI). Oki Hajiansyah Wahab dalam buku Terasing di Negeri Sendiri menyebut Register 45 ditetapkan sebagai kawasan hutan melalui Besluit Resident Nomor 249 tanggal 12 April 1940 dengan luas 33.500 hektare. Nengah Sugandra saksi hidup bagaimana kegetiran dan ketakutan bernama Register 45 itu terus berulang dan memakan korban. Dan seperti kebanyakan orang yang tinggal di area perkebunan singkong, karet, dan sebagian kecil persawahan, itu, Nengah tidak punya pilihan. “Kalau boleh memilih, siapa sih yang mau tinggal di tempat seperti ini,” kata dia saat ditemui Jawa Pos Selasa (20/8). Sampai sekarang, stigma perambah -warga yang tak diakui negara alias ilegal dan penghuni tanah tak bertuan- masih melekat pada penduduk Register 45. Mereka bertahun-tahun terjebak dalam kondisi itu. Imbasnya, pelayanan publik tak bisa mereka dapatkan dengan mudah. Begitu pula hak konstitusional, seperti hak memilih dan dipilih dalam pesta demokrasi. Lantas, bagaimana warga mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan? Sebagian warga membangun sekolah secara swadaya dengan status legalitas menginduk ke sekolah resmi terdekat. Untuk kesehatan, seperti vaksin untuk bayi, mereka mendapatkan dengan mendatangi posyandu di desa definitif terdekat. Namun, dengan catatan harus bayar alias tidak gratis seperti posyandu umumnya. Nengah menyebut hampir semua orang di Register 45 tidak tercatat sebagai penduduk setempat. Tak ada data pasti berapa jumlah penduduk Register 45. Namun, diperkirakan ada ribuan kepala keluarga (KK) yang menggantungkan hidup di daerah perbatasan Lampung-Sumatera Selatan itu. “Tidak ada hak warga negara untuk kami,” ujar pengurus Persatuan Petani Moro-Moro Way Serdang (PPMWS) itu. Masyarakat Register 45 hidup dalam bayang-bayang potensi konflik yang bisa meledak kapan saja. Hanya, beda dengan dulu yang akar masalah konflik diawali dengan perselisihan antara perusahaan pengelola hutan dan warga, kini konflik di sana kerap bermula dari gesekan antarkelompok. Juga, antara petani dan preman. Masalah yang diributkan tetap sama: sengketa lahan.Merindukan Kedamaian di “Tanah Merah”
Pasca bentrokan itu, Isrofil belum pernah bertemu anak dan istrinya. Keluarganya diungsikan di tempat yang lebih aman di Menggala, Tulang Bawang, Lampung. Isrofil juga belum berani menempati rumahnya di Mekar Jaya. Dia memilih mengungsi di Mulyo Aji. “Anakku wes trauma. Ten mriki wes mboten purun (Anakku sudah trauma. Di sini sudah tidak mau lagi, Red),” kata Isrofil. Sama dengan kebanyakan warga penduduk Register 45, Isrofil hanya berharap bisa hidup normal sebagai petani yang bisa menanam dan menjual hasil panen singkong dengan harga pasar. Dia juga ingin kembali merayakan pesta ulang tahun anaknya di rumah petak papan tanpa jeritan dan tangisan menderu-deru. Tentu dia berharap pemerintah memberikan opsi terbaik atas persoalan sosial yang rumit itu. Bukan lepas tangan membiarkan “perang” terus-menerus terjadi di tanah tersebut. “Kalau tidak ada konflik, alangkah damainya tanah ini, Pak. Saya langsung sujud syukur,” harapnya. Sayang, ibarat pepatah Latin si vis pacem para bellum, Isrofil dan Nengah Sugandra serta masyarakat di Register 45 yang tak diakui negara sementara harus selalu siap menghadapi “perang” dan mengangkat “senjata” seadanya untuk mendapatkan perdamaian. Tak ada lahan gratis di sana. Tapi, tidak seharusnya pula tanah-tanah milik negara itu dibayar dengan nyawa.Masalah Kompleks, Perlu Terobosan Penyelesaian
KONFLIK yang terus berulang di Mesuji dinilai sebagai bentuk kegagalan negara dalam melindungi hak asasi manusia (HAM). Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin menyatakan, konflik di kawasan hutan itu juga buntut dari pengabaian hak atas tanah warga. “Konflik (di Mesuji) sudah demikian lama dan setiap saat dapat meletus kembali,” ujarnya. Iwan menyebut persoalan itu sejatinya dapat diselesaikan jika pemerintah berani mengambil langkah terobosan bersama warga. Diawali dengan menyelesaikan persoalan tumpang tindih klaim kawasan hutan, izin konsesi perusahaan, dan tanah garapan warga. “Harus ada ruang penyelesaian bersama,” ujar pria kelahiran Lampung itu. Dia mengakui, penyelesaian sengketa lahan tersebut tidak mudah seiring banyaknya kelompok masyarakat yang terlibat. Pendiri Lokataru Foundation itu meminta pemerintah melakukan pendekatan yang berpihak kepada warga miskin. Tentu dengan mengedepankan pemulihan hak atas tanah yang dikombinasikan dengan pendekatan kesejahteraan dan sosial budaya. Di buku Akses, Relasi, dan Konflik (Oki Hajiansyah Wahab, 2014) disebutkan, ada tiga kelompok yang terlibat konflik di area Register 45 selama ini. Kelompok pertama adalah masyarakat Talang Gunung, Kecamatan Mesuji Timur. Mereka sudah menghuni kawasan itu jauh sebelum area tersebut ditetapkan sebagai kawasan hutan oleh negara. Sejak 1970-an masyarakat Talang Gunung memiliki surat keterangan tanah (SKT) dan bukti pembayaran pajak. Pun, proses permohonan pelepasan tanah masyarakat setempat sudah berjalan sejak 1999. Namun, hingga saat ini tak kunjung selesai. Kelompok masyarakat kedua disebut memasuki Register 45 pada akhir 1997 atau saat krisis ekonomi terjadi. Kelompok itu bernama Moro-Moro. Kelompok tersebut sebenarnya sudah ada sejak 1993. Namun, baru pada 1997 kedatangan mereka kian masif akibat penelantaran tanah yang dilakukan perusahaan pemegang hak konsesi. Sementara itu, kelompok ketiga adalah masyarakat yang datang setelah meledaknya kasus Mesuji pada 2010-2011. Masyarakat tersebut terbagi dalam dua bentuk. Yakni, kelompok masyarakat lama yang berulang-ulang tergusur dari Register 45 dan masyarakat baru yang datang secara bergelombang untuk mendapatkan tanah dengan harga murah dari para spekulan. Iwan menambahkan, pendekatan penyelesaian konflik agraria antara warga, pemerintah, dan perusahaan itu harus dilembagakan tim ad hoc yang dimonitor lembaga pemerintah seperti Komnas HAM dan Ombudsman RI. “Tim itu harus dibuat bersama dan harus ada jangka waktu penyelesaian serta anggaran yang cukup untuk memastikan hal tersebut berjalan,” imbuh dia. Saat dihubungi Jawa Pos kemarin (25/8), Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala BPN Sofyan Djalil mengungkapkan, Register 45 Mesuji termasuk kawasan hutan. “Jadi, kewenangannya ada di menteri LHK. Saya tidak bisa berkomentar,” jelasnya. Sampai berita ini ditulis, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar belum merespons upaya konfirmasi yang dilakukan Jawa Pos. Kepala Biro Humas KLHK Djati Witcaksono mengatakan bahwa sengketa di Mesuji berkaitan dengan tanah objek reforma agraria (TORA) di bawah Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL).Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: